Skenario 3 An B usia 6 th dibawa ke UGD RSUD Nganjuk dengan keluhan nyeri seperti panas terbakar. Pada pemeriksaan kulit didapatkan eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura. Pada pemeriksaan mata, didapatkan kelainan mata kongjungtivitis parulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Untuk sementara An B mendapatkan terapi anti biotik dan anti histamine SEVEN JUMP Langkah 1 : klarifikasi istilah dan konsep 1. Vesikel 2. Bula 3. Purpura 4. Kongjungtivitis parulen 5. Ulkus kornea 6. Iritis 7. Iridosiklitis 8. Antibiotic 9. Anti histamine Jawaban : 1. Vesikel adalah a. kantung penampung kecil yang mengandung cairan b. tonjolan kecil berbatas tegas pada epidermis yang mengandung cairan serosa : lepuh kecil 2. bulla adalah a. lepuhan ; suatu lesi kulit yang berbatas jelas, mengandung cairan, meninggi, biasanya lebih dari 5 mm dalam diameter 2. 3. Purpura adalah a. Perdarahan kecil didalam kulit,membrane mukosa, atau permukaan serosa b. Kelompok gangguan yang ditandai oleh adanya lesi purpurik,ekimosis dan cenderung mudah memar 4. Konjungtivitis parulen adalah juga dikenal sebagai atau terkait dengan konjungtivitis bakteri (gangguan), pengamatan debit mata, mata lengket, infeksi bakteri mata (gangguan), konjungtivitis mukopurulen, mata lengket 5. Ulkus kornea adalah keadaan patologis kornea yang ditandai adanya infiltrate supuratif disertai defekornea discontiunitas jaringan kornea yang dapat terjadi epitel sampai stroma serta hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea 6. Iritis adalah peradangan pada iris 7. Iridosiklitis adalah radang selaput pelangi dan siliar 8. Antibiotic adalah termasuk jenis obat yang cukup sering diresepkan dalam pengobatan modern. Antibiotik adalah zat yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. 9. Anti histamine adalah Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin H1. Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh. Langkah 2 : menetapkan / mendefinisi masalah 1. An B mengeluh nyeri terasa terbakar 2. Pada pemeriksaan kulit An B didapatkan eritema, vesikel, bula, dan terjadi purpura 3. Pada pemeriksaan mata An B didapatkan kelainan mata kongjungtivitis parulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis
Langkah 3 : Analisa masalah (Curah pendapat) 1. Apa penyebab kelainan mata kongjungtivitis parulen ? 2. Bagaimana mekanisme terjadinya purpura ? 3. Bagaimana bisa terjadi kelainan mata kongjutivitis parulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis ? Jawaban : 1. Terjadi akibat reaksi tipe III yaitu terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) 2. Reaksi Hipersensitif tipe III Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. 3. Terjadi karena alergi yang mengakibatkan terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV yang berakibat pada kerusakan jaringan-jaringan tertentu Langkah 4 (menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan yang telah didapatkan kelompok pada langkah 3) 1. Ada hubungan pemeriksaan kulit dengan nyeri panas terbakar 2. Ada hubungan pemeriksaan kulit dan mata dengan terapi yang diberikan Langkah 5 (merumuskan sasaran pembelajaran) Asuhan keperawatan LAPORAN PENDAHULUAN Sindrom Steven Johnson 1. pengertian Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127). Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480). Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136). 2. Etiologi Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah: A. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik) · Penisilline dan semisentetiknya · Sthreptomicine · Sulfonamida · Tetrasiklin · Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol) · Kloepromazin · Karbamazepin · Kirin Antipirin · Tegretol B. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit) · Neoplasma dan faktor endokrin C. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X) D. Makanan 3. Manifestasi Klinis Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: A. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. B. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. C. Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis. Komplikasi : Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. 4. Patofisiologi Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) . Reaksi Hipersensitif tipe III Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72). Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
5. Penatalaksanaan Kortikosteroid Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan). Antibiotik Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Infus dan tranfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak. 6. Tes diagnostic A. Pemeriksaan laboratorium: Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa. B. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat. C. Determine renal function and evaluate urine for blood. D. Pemeriksaan elektrolit E. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi. F. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan G. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis H. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa. 7. Diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada klien sindrom steven Johnson A. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh Intervensi: • Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi. Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat • Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi • Jaga kebersihan alat tenun Rasional: untuk mencegah infeksi • Kolaborasi dengan tim medis Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut B. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan Intervensi: • Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan • Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan • Hidangkan makanan dalam keadaan hangat Rasional: meningkatkan nafsu makan • Kerjasama dengan ahli gizi Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan. C. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit KH: • Melaporkan nyeri berkurang • Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks Intervensi: • Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan • Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum • Pantau TTV Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat • Berikan analgetik sesuai indikasi Rasional: menghilangkan rasa nyeri D. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas Intervensi: • Kaji respon individu terhadap aktivitas Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari. • Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal • Jelaskan pentingnya pembatasan energy Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh • Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga E. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis KH : • Kooperatif dalam tindakan • Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen Intervensi: • Kaji dan catat ketajaman pengelihatan Rasional: Menetukan kemampuan visual • Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak. Rasional: Memberikan keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan. • Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan: Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan. • Orientasikan terhadap lingkungan. § Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan penglihatan klien. § Berikan pencahayaan yang cukup. § Letakan alat-alat ditempat yang tetap. § Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar. § Hindari pencahayaan yang menyilaukan. § Gunakan jam yang ada bunyinya. · Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien. Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan penglihatan menurun. · Pengkajian A. Indentitas Nama : An. B Umur : 6 Tahun Suku/bangsa : indonesia Agama : Islam Alamat : nganjuk Tgl MRS : 8-12-2010 Jam 08.00 WIB Tgl. Pengkajian : 8-12-2010 Jam 08.55 WIB Diagnosa Medis : Sindrom Steven Jhonson B. Alasan Masuk RS klien mengeluh nyeri seperti panas terbakar C. Riwayat penyakit sekarang klien mengalami eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura. Pada pemeriksaan mata, didapatkan kelainan mata kongjungtivitis parulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. D. Observasi dan pemeriksaan fisik · pemeriksaan kulit : eritema, vesikel, bula dan terjadi purpura · pemeriksaan mata : kelainan mata kongjungtivitis parulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. · ANALISA DATA
E. RENCANA KEPERAWATAN
Langkah 6 (mengumpulkan informasi tambahan diluar waktu diskusi kelompok/belajar mandiri) Langkah 7 (melakukan sintesa dan pengujian informasi yang telah terkumpul) - Terlampir pad langkah 5 DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC. Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC. Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius. |
askep
Minggu, 23 Oktober 2011
ASKEP Sindrom Steven Johnson (SSJ)
Langganan:
Postingan (Atom)